”Dua belas tahun, Na… aku udah bareng-bareng sama kamu dua belas tahun, sekarang kamu mau pergi gitu aja ninggalin aku?” Arga menatap lirih mata Yuna yang tidak memancarkan rasa bersalah sedikitpun, lelaki itu kemudian meraih tangan kanan Yuna dan menggenggamnya erat.
“Pikirin lagi, ya?” Ucapnya pelan, Yuna
menggeleng.
“Nggak, Ga. Keputusanku udah bulat, aku mau
belajar.” Balas Yuna dengan yakin, ia menarik tangan yang sebelumnya digenggam
oleh mantan yang sampai lima menit lalu masih memegang status pacar selama dua
belas tahun itu.
“Tapi, kamu udah lulus S2…” Arga masih
berusaha menyanggah ucapan Yuna, kini Yuna menatap mata Arga dengan pandangan
tegas.
“Yang aku maksud disini bukan belajar itu,
Ga. Aku mau belajar hidup tanpa kamu, aku mau belajar hidup tanpa aturan kamu, aku
mau belajar hidup tanpa harus dihantui omelan kamu. Aku capek.” Arga speechless, ia benar-benar tidak
menyangka bahwa kalimat tersebut keluar dari mulut Yuna, padahal selama ini
Arga merasa semua perbuatan dan perlakuan dirinya terhadap Yuna itu benar.
“Kamu selalu ngelarang aku buat main sama temen-temenku, kamu selalu ngelarang aku buat pergi terlalu jauh, kamu selalu ngelarang aku buat ngelakuin hal yang aku suka. Entah kamu sadar atau nggak, selama bareng-bareng sama kamu, aku gak pernah ambil keputusan atas kemauanku sendiri, selalu kamu yang atur, aku selalu takut sama omelan kamu nantinya. Dan ini pertama kali sejak aku SMA, sejak aku memutuskan untuk pacaran sama kamu, ini kali pertama aku berani buat keputusan sendiri. Aku gak peduli dan aku gak akan nanya pendapat kamu setelah ini.” Lanjut Yuna dengan air yang menunggu jatuh di pelupuk matanya.
Ibarat jatuh kemudian tertimpa tangga, ucapan Yuna
benar-benar membuat Arga terdiam, laki-laki yang belasan kali menang lomba
debat itu tidak sanggup melawan kalimat panjang Yuna barusan. Dan untuk pertama
kalinya, Arga merasa kalah.
Yuna kemudian bangun dari duduknya dan
berjalan menjauh meninggalkan Arga yang masih termenung di kursinya. Ucapan Yuna
meninggalkan efek yang begitu besar, walau Arga yakin itu tidak sebesar efek
yang ia berikan kepada dua belas tahun kehidupan Yuna, tapi Arga masih
membutuhkan waktu untuk menafsirkan semua ucapan yang wanita itu lontarkan.
Apa yang Arga anggap benar selama ini hanya untuk memenuhi keegoisannya itu perlahan membuat Yuna yang dulunya berperangai keras menjadi lunak, namun kerasnya Yuna berpindah ke Arga, keotoriterannya, keinginan ia berkuasa benar-benar mengubah diri dan pikirannya. Arga terlalu keras terhadap Yuna, Arga memang tidak suka melihat Yuna bahagia jika tidak bersamanya. Dan kini, tinggal Arga seorang diri bersama penyesalan dan dua gelas kopi susu yang belum sempat mereka minum di atas meja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar