Jumat, 16 Juli 2021

Fade

 Paragraf ini ditulis saat aku kembali mengingatmu, mengingat kenangan kita yang singkat namun berkesan.


Aku tidak pernah menyalahkanmu atas semua hal yang terjadi, kepadamu, kepada kita. 


Memang takdir Tuhan yang tidak pernah berkata iya.


Tidak ada korban di sini, begitu pula engkau, kau tidak pernah menjadi tersangka.


Kita berdua pudar bersama.


Aku sempat mencintaimu karena pilihanku, bukan paksaanmu.


Dan aku juga tidak pernah memaksamu untuk melakukan hal yang sama.


Aku dan dirimu, yang tidak pernah menjadi kita, namun sempat hampir menjadi kami.


Terima kasih pernah menjadi bagian dari hidupku, terima kasih telah menyempatkan diri untuk hadir dan menemani di titik terendah hidupku.


Kini kita kembali menjadi orang asing, dua orang asing yang tidak pernah saling mengenal sebelumnya.


Semoga kita cepat mendapat kebahagiaan di kehidupan masing-masing.

Kamis, 26 November 2020

Apa yang sedang kamu perjuangkan?

Baru aja liat pertanyaan itu di Quora, pengen jawab di sana tapi kok rasanya gak enak aja.


Apa yang sedang aku perjuangkan? 


Banyak. 


Menganggur bukan berarti aku hanya duduk diam setiap hari di toko milik ibu, ya.


Akhir-akhir ini aku sedang berjuang untuk melunturkan semua kebencianku terhadap bapak. Bapak yang sejak aku kecil selalu mengkhianati Ibu, Bapak yang terang-terangan membawa selingkuhannya ke hadapanku, Bapak yang pernah mengaku bahwa dirinya anak yatim piatu padahal Nenekku masih sehat bahkan hingga saat ini. Sebenarnya masih banyak kebencianku terhadap beliau, tapi aku tidak sanggup untuk menulisnya lagi.


Aku juga sedang berjuang untuk bangkit dari keterpurukan, setiap hari aku merasa bahwa diriku semakin tidak berguna. Pengangguran, padahal lulusan sarjana, kasihan orang tuaku menyekolahkanku hingga titik ini tapi sampai sekarang, anaknya masih saja menjadi beban.


Selain itu, aku sedang berjuang untuk melupakan seseorang. Seseorang yang sering aku ceritakan di laman ini. 


Cukup singkat untuk sebuah postingan, aku hanya ingin menuangkan sedikit keluh kesahku akhir-akhir ini. Tulisan ini pun hanya aku tulis melalui handphone, sampai jumpa di tulisanku selanjutnya!

Senin, 28 September 2020

Mawar

Maafin judulnya ya, aku bingung harus pake nama siapa...


    Hai, hari ini 29 september 2020, tepat delapan tahun setelah pertemuan pertama kita di warung bakso depan sekolah, hahaha. Maaf aku belum bisa move on  sejak hari itu, maaf aku masih suka ngerepotin kamu karena perasaanku yang susah dikontrol ini, maaf aku masih suka ngemis perhatian kamu ya, maaf juga kalau kadang aku masih suka kesel kalau kamu nyebut nama yang jadi judul tulisanku kali ini, aku cemburu, banget.


    Kamu masih inget gak pertemuan kita delapan tahun lalu? Lupa? aku masih inget masa. Hari itu kamu pakai hoodie abu-abu sama celana biru selutut, celana yang sempat buat kamu takut masuk ke sekolah pas lagi ada rapat osis, ingatanku bagus ya soal ini. Hari itu aku lagi pake hoodie merah sama celana panjang hitam, lagi dingin kayaknya makanya kita berdua pake hoodie, padahal nggak janjian. Tapi aneh, aku lupa kita berdua ngomongin apa malam itu, aku cuma inget kamu nempel-nempel terus ke aku, hahaha.


    Aku sedikit menyesal, kenapa malam itu gak kita berdua habiskan lebih lama, kenapa aku malah milih buat ngumpul bareng sama teman-temanku yang bahkan sekarang aku nggak tau kabar mereka gimana. Malam itu, malam pertama aku duduk di jok belakangmu, memegang erat hoodie abu-abumu, kenapa nggak aku peluk aja ya? padahal kamu udah nawarin, tapi aku sok pemalu. 


    Hari ini, 29 september 2020. Aku nggak tahu apa nanti malam kamu bakal telepon aku lagi atau nggak, kemarin kamu nggak hubungin aku seharian, aku paham kamu mungkin sibuk, aku juga sibuk kok, sibuk mikirin kamu, sibuk mikirin hari ini, pokoknya tiada hari tanpa mikirin kamu deh. Nggak gombal, ini beneran, jujur dari lubuk hati yang terdalam, aku kangen kamu setiap hari.


    Nggak apa-apa kalau kamu bilang aku lebay, tapi aku suka mikir, apa jadinya kalau kita sejauh dulu? Apa aku bakal nangis setiap hari karena nggak dapet kabar dari kamu? Atau potong rambut setiap minggu karena ngerasa patah hati? Entahlah. Otak aku terlalu random. 


    Delapan tahun, aku udah punya empat mantan pacar sejak kamu pergi, tapi kenapa di hati dan otak aku selalu ada nama kamu? Efek cinta pertama kah? Kalau boleh jujur, aku mau benci sama kamu. Kamu jahat, kasar, kalau ngomong asal bunyi aja, nggak jarang aku sakit hati sama omongan kamu. Kamu juga nggak bisa menghargai orang, entah cuma ke aku atau ke orang lain juga. Aku sih maunya kamu berubah, tapi aku siapa ngatur-ngatur kamu?


    Ini jam setengah tiga pagi, biasanya kita baru selesai ngobrol eh akhir-akhir ini aku ngobrolnya sama temenmu deh bukan sama kamu hahaha, kesel banget tapi nggak bisa asal mutus telepon gitu aja, kalau kamu mutusin buat nggak nelepon aku lagi, gimana? aku nggak mau galau setiap hari. Tapi balik lagi, aku siapa ngatur-ngatur kehendak kamu.


    Aku banyak omong banget ya? Aku kangen kamu. Pengen ketemu rasanya, tapi nggak bisa. Aku takut juga, takut kalau aku yang sekarang nggak sesuai sama ekspektasi kamu. Aku masih sejelek dulu hahaha, bohong kalau aku bilang aku cantik, semua orang aja bilang aku jelek dan gendut. Aku mana pantes sama kamu.


    Sekarang aku bingung gimana cara akhirin tulisan ini. Udah ya? aku mau lanjut nonton drama lagi. Aku harap kamu nggak baca tulisan ini. Good night!

Selasa, 25 Agustus 2020

Kairra.

 

“anjrit itu beneran dia yang nikah? Si Adya yang jadian sama lo pas SMA kan?” Kairra mengangguk pelan kemudian membenamkan kepalanya di bantal sofa kesayangannya. Ia sendiri tidak mengerti perasaan yang dirasakannya saat ini, memang Adya dan Kairra sudah putus sejak kurang lebih dua tahun lalu, bahkan Kairra sudah punya pacar baru saat ini.

“Gila, gue kira dia gamon loh ke lo.” Kali ini Kairra menggeleng, “Gue yang gamon…” Ucapan Kairra sukses membuat Nida, sahabat kairra menoyor kepalanya pelan. “Gila? Ra, lo kan udah punya Irham?” Kali ini Kairra menyandarkan kepalanya di sandaran sofa, ia kemudian menarik napas berat.

“Susah, Nid. Susah banget buat move on dari dia tuh.” Kairra kembali mengingat kenangan-kenangan yang ia lalui bersama Adya. Dua bulan, hanya dengan waktu dua bulan, laki-laki bernama Adya yang merupakan lelaki paling introvert di kelas itu berhasil membuat Kairra bertekuk lutut.

Nida menatap Kaira dengan pandangan heran, “Apa yang bikin lo susah move on? Orangnya? Dia gak seganteng itu deh gue liat.” Kairra lagi-lagi menggelengkan kepalanya, “Bukan, tapi kenangannya. Cuma dia yang pernah bikin gue seneng sampe rasanya gue gak pernah ngerasain sedih sebelumnya, dia yang bikin gue ketawa sampe rasanya rahang gue mau copot. Cuma dia yang bisa bikin kesedihan gue ilang sepenuhnya. Bahkan Irham pun gak bisa…”

Kali ini giliran Nida yang menggelengkan kepalanya, “Gila, sumpah lo gila Ra. Lo udah bareng-bareng sama Irham hampir tiga tahun loh.” Kairra berbalik menatap Nida, “Gue jahat ya?” Kairra mulai merengek, ia merasa menjadi manusia terjahat di bumi saat ini, tapi ia tidak mau disalahkan, ia ingin menyalahkan Adya yang berhasil membuatnya jatuh begitu dalam namun kini meninggalkan dirinya begitu saja.

Andai Adya tidak pergi waktu itu, andai Adya tidak menyebalkan saat itu, andai Adya mau mengerti maksud Kairra waktu itu, saat ini mungkin Kairra lah yang akan menjadi calon pengantinnya. Kairra merasa lebih berhak dibanding wanita yang baru satu tahun Adya kenal.

“Ya ini bukan sepenuhnya salah lo sih, everyone has their own way to move on. Dan lo milih jalan ini buat usaha ngelupain Adya, lo juga gak pernah bahas Adya terlalu banyak kan ke si Irham?” Kairra mengangguk, “Gue gak segila itu, Nid.” Nida kemudian mengusap bahu Kairra pelan, “Yaudah, mungkin ini cara Tuhan buat bikin lo ngelupain Adya, Ra.” Ucapan Nida diikuti oleh gerimis yang perlahan turun, ini masih bulan Juni namun langit seolah setuju dengan kesedihan yang dirasakan Kairra, lagu It Will Rain dari Bruno Mars menjadi pelengkap sendu Kairra hari itu.

Senin, 24 Agustus 2020

Yuna.

 ”Dua belas tahun, Na… aku udah bareng-bareng sama kamu dua belas tahun, sekarang kamu mau pergi gitu aja ninggalin aku?” Arga menatap lirih mata Yuna yang tidak memancarkan rasa bersalah sedikitpun, lelaki itu kemudian meraih tangan kanan Yuna dan menggenggamnya erat.

“Pikirin lagi, ya?” Ucapnya pelan, Yuna menggeleng.

“Nggak, Ga. Keputusanku udah bulat, aku mau belajar.” Balas Yuna dengan yakin, ia menarik tangan yang sebelumnya digenggam oleh mantan yang sampai lima menit lalu masih memegang status pacar selama dua belas tahun itu.

“Tapi, kamu udah lulus S2…” Arga masih berusaha menyanggah ucapan Yuna, kini Yuna menatap mata Arga dengan pandangan tegas.

“Yang aku maksud disini bukan belajar itu, Ga. Aku mau belajar hidup tanpa kamu, aku mau belajar hidup tanpa aturan kamu, aku mau belajar hidup tanpa harus dihantui omelan kamu. Aku capek.” Arga speechless, ia benar-benar tidak menyangka bahwa kalimat tersebut keluar dari mulut Yuna, padahal selama ini Arga merasa semua perbuatan dan perlakuan dirinya terhadap Yuna itu benar.

“Kamu selalu ngelarang aku buat main sama temen-temenku, kamu selalu ngelarang aku buat pergi terlalu jauh, kamu selalu ngelarang aku buat ngelakuin hal yang aku suka. Entah kamu sadar atau nggak, selama bareng-bareng sama kamu, aku gak pernah ambil keputusan atas kemauanku sendiri, selalu kamu yang atur, aku selalu takut sama omelan kamu nantinya. Dan ini pertama kali sejak aku SMA, sejak aku memutuskan untuk pacaran sama kamu, ini kali pertama aku berani buat keputusan sendiri. Aku gak peduli dan aku gak akan nanya pendapat kamu setelah ini.” Lanjut Yuna dengan air yang menunggu jatuh di pelupuk matanya.

Ibarat jatuh kemudian tertimpa tangga, ucapan Yuna benar-benar membuat Arga terdiam, laki-laki yang belasan kali menang lomba debat itu tidak sanggup melawan kalimat panjang Yuna barusan. Dan untuk pertama kalinya, Arga merasa kalah.

Yuna kemudian bangun dari duduknya dan berjalan menjauh meninggalkan Arga yang masih termenung di kursinya. Ucapan Yuna meninggalkan efek yang begitu besar, walau Arga yakin itu tidak sebesar efek yang ia berikan kepada dua belas tahun kehidupan Yuna, tapi Arga masih membutuhkan waktu untuk menafsirkan semua ucapan yang wanita itu lontarkan.

Apa yang Arga anggap benar selama ini hanya untuk memenuhi keegoisannya itu perlahan membuat Yuna yang dulunya berperangai keras menjadi lunak, namun kerasnya Yuna berpindah ke Arga, keotoriterannya, keinginan ia berkuasa benar-benar mengubah diri dan pikirannya. Arga terlalu keras terhadap Yuna, Arga memang tidak suka melihat Yuna bahagia jika tidak bersamanya. Dan kini, tinggal Arga seorang diri bersama penyesalan dan dua gelas kopi susu yang belum sempat mereka minum di atas meja.

 

Sabtu, 22 Agustus 2020

Anna.

 Entah apa yang dikecewakan disini, Anna yang sudah lama menunggu atau kenyataan bahwa angan memiliki dirinya kembali memang benar hanyalah angan yang sampai kapanpun tidak akan pernah Anna gapai.

 

Bukan dengan mudah Anna membuat keputusan untuk mencoba membuka hati, bukan dengan mudah pula Anna mengesampingkan segala masalah yang dulu ia perbuat hanya untuk lelaki itu, dan entah berapa banyak hal yang ia korbankan. Kini, ia harus mengorbankan kembali perasaannya.

 

Anna terlalu sedih serta frustasi, bahkan menangis pun ia tak mampu dan dirasa tidak menolong. Dirinya ingin teriak dan menyumpah lelaki itu dengan berbagai ucapan kotor, namun Anna juga terlalu lelah untuk itu. Anna memilih diam.

 

Terlalu cinta. Anna tau dirinya bodoh, ia bahkan tidak lagi dapat membedakan antara cinta dan obsesi, sekali lagi, ia terlalu lelah untuk berpikir. Menghilang diam-diam mungkin adalah keputusan yang tepat.

Selasa, 18 Agustus 2020

Menyerah.

 

Aku tidak pernah tahu kalau mencintai bisa semenyakitkan ini. Awalnya, kupikir menghubungimu kembali adalah keputusan yang tepat, sudah tujuh tahun berlalu, mana mungkin aku masih menyukaimu? Namun keputusanku salah, dan otakku tak sejalan dengan hati.

 

Aku masih menyukaimu.

 

Perasaan ini masih ada, bahkan jauh lebih besar dari sebelumnya, aku merasa mempunyai kesempatan lebih besar disbanding tujuh tahun lalu untuk mendapatkanmu.

 

Sekuat mungkin aku berusaha menyanggah, perasaan Ini tidak mungkin sama dengan apa yang kurasakan tujuh tahun lalu, namun aku salah. Aku masih seperti anak berumur lima belas tahun yang menunggu pesan dan teleponmu.

 

Kadang aku berusaha merebut perhatianmu dengan cerita yang kubagikan, namun apa yang kuharapkan? Jangankan membuatmu menoleh, mendengar pun enggan.

 

Untuk orang yang mungkin membaca tulisan ini, aku menyerah, aku menyerah sekali lagi. Mungkin usahaku memang tidak pantas untuk ditanggapi olehmu.

 

Semoga hidupmu selalu bahagia.