Kamis, 26 November 2020
Apa yang sedang kamu perjuangkan?
Senin, 28 September 2020
Mawar
Maafin judulnya ya, aku bingung harus pake nama siapa...
Hai, hari ini 29 september 2020, tepat delapan tahun setelah pertemuan pertama kita di warung bakso depan sekolah, hahaha. Maaf aku belum bisa move on sejak hari itu, maaf aku masih suka ngerepotin kamu karena perasaanku yang susah dikontrol ini, maaf aku masih suka ngemis perhatian kamu ya, maaf juga kalau kadang aku masih suka kesel kalau kamu nyebut nama yang jadi judul tulisanku kali ini, aku cemburu, banget.
Kamu masih inget gak pertemuan kita delapan tahun lalu? Lupa? aku masih inget masa. Hari itu kamu pakai hoodie abu-abu sama celana biru selutut, celana yang sempat buat kamu takut masuk ke sekolah pas lagi ada rapat osis, ingatanku bagus ya soal ini. Hari itu aku lagi pake hoodie merah sama celana panjang hitam, lagi dingin kayaknya makanya kita berdua pake hoodie, padahal nggak janjian. Tapi aneh, aku lupa kita berdua ngomongin apa malam itu, aku cuma inget kamu nempel-nempel terus ke aku, hahaha.
Aku sedikit menyesal, kenapa malam itu gak kita berdua habiskan lebih lama, kenapa aku malah milih buat ngumpul bareng sama teman-temanku yang bahkan sekarang aku nggak tau kabar mereka gimana. Malam itu, malam pertama aku duduk di jok belakangmu, memegang erat hoodie abu-abumu, kenapa nggak aku peluk aja ya? padahal kamu udah nawarin, tapi aku sok pemalu.
Hari ini, 29 september 2020. Aku nggak tahu apa nanti malam kamu bakal telepon aku lagi atau nggak, kemarin kamu nggak hubungin aku seharian, aku paham kamu mungkin sibuk, aku juga sibuk kok, sibuk mikirin kamu, sibuk mikirin hari ini, pokoknya tiada hari tanpa mikirin kamu deh. Nggak gombal, ini beneran, jujur dari lubuk hati yang terdalam, aku kangen kamu setiap hari.
Nggak apa-apa kalau kamu bilang aku lebay, tapi aku suka mikir, apa jadinya kalau kita sejauh dulu? Apa aku bakal nangis setiap hari karena nggak dapet kabar dari kamu? Atau potong rambut setiap minggu karena ngerasa patah hati? Entahlah. Otak aku terlalu random.
Delapan tahun, aku udah punya empat mantan pacar sejak kamu pergi, tapi kenapa di hati dan otak aku selalu ada nama kamu? Efek cinta pertama kah? Kalau boleh jujur, aku mau benci sama kamu. Kamu jahat, kasar, kalau ngomong asal bunyi aja, nggak jarang aku sakit hati sama omongan kamu. Kamu juga nggak bisa menghargai orang, entah cuma ke aku atau ke orang lain juga. Aku sih maunya kamu berubah, tapi aku siapa ngatur-ngatur kamu?
Ini jam setengah tiga pagi, biasanya kita baru selesai ngobrol eh akhir-akhir ini aku ngobrolnya sama temenmu deh bukan sama kamu hahaha, kesel banget tapi nggak bisa asal mutus telepon gitu aja, kalau kamu mutusin buat nggak nelepon aku lagi, gimana? aku nggak mau galau setiap hari. Tapi balik lagi, aku siapa ngatur-ngatur kehendak kamu.
Aku banyak omong banget ya? Aku kangen kamu. Pengen ketemu rasanya, tapi nggak bisa. Aku takut juga, takut kalau aku yang sekarang nggak sesuai sama ekspektasi kamu. Aku masih sejelek dulu hahaha, bohong kalau aku bilang aku cantik, semua orang aja bilang aku jelek dan gendut. Aku mana pantes sama kamu.
Sekarang aku bingung gimana cara akhirin tulisan ini. Udah ya? aku mau lanjut nonton drama lagi. Aku harap kamu nggak baca tulisan ini. Good night!
Selasa, 25 Agustus 2020
Kairra.
“anjrit itu beneran dia yang nikah? Si Adya
yang jadian sama lo pas SMA kan?” Kairra mengangguk pelan kemudian membenamkan
kepalanya di bantal sofa kesayangannya. Ia sendiri tidak mengerti perasaan yang
dirasakannya saat ini, memang Adya dan Kairra sudah putus sejak kurang lebih
dua tahun lalu, bahkan Kairra sudah punya pacar baru saat ini.
“Gila, gue kira dia gamon loh ke lo.” Kali ini Kairra menggeleng, “Gue yang gamon…” Ucapan Kairra sukses membuat
Nida, sahabat kairra menoyor kepalanya pelan. “Gila? Ra, lo kan udah punya
Irham?” Kali ini Kairra menyandarkan kepalanya di sandaran sofa, ia kemudian
menarik napas berat.
“Susah, Nid. Susah banget buat move on dari
dia tuh.” Kairra kembali mengingat kenangan-kenangan yang ia lalui bersama
Adya. Dua bulan, hanya dengan waktu dua bulan, laki-laki bernama Adya yang
merupakan lelaki paling introvert di kelas itu berhasil membuat Kairra bertekuk
lutut.
Nida menatap Kaira dengan pandangan heran, “Apa
yang bikin lo susah move on? Orangnya? Dia gak seganteng itu deh gue liat.”
Kairra lagi-lagi menggelengkan kepalanya, “Bukan, tapi kenangannya. Cuma dia
yang pernah bikin gue seneng sampe rasanya gue gak pernah ngerasain sedih
sebelumnya, dia yang bikin gue ketawa sampe rasanya rahang gue mau copot. Cuma dia
yang bisa bikin kesedihan gue ilang sepenuhnya. Bahkan Irham pun gak bisa…”
Kali ini giliran Nida yang menggelengkan
kepalanya, “Gila, sumpah lo gila Ra. Lo udah bareng-bareng sama Irham hampir
tiga tahun loh.” Kairra berbalik menatap Nida, “Gue jahat ya?” Kairra mulai
merengek, ia merasa menjadi manusia terjahat di bumi saat ini, tapi ia tidak
mau disalahkan, ia ingin menyalahkan Adya yang berhasil membuatnya jatuh begitu
dalam namun kini meninggalkan dirinya begitu saja.
Andai Adya tidak pergi waktu itu, andai
Adya tidak menyebalkan saat itu, andai Adya mau mengerti maksud Kairra waktu
itu, saat ini mungkin Kairra lah yang akan menjadi calon pengantinnya. Kairra merasa
lebih berhak dibanding wanita yang baru satu tahun Adya kenal.
“Ya ini bukan sepenuhnya salah lo sih, everyone has their own way to move on. Dan
lo milih jalan ini buat usaha ngelupain Adya, lo juga gak pernah bahas Adya
terlalu banyak kan ke si Irham?” Kairra mengangguk, “Gue gak segila itu, Nid.” Nida
kemudian mengusap bahu Kairra pelan, “Yaudah, mungkin ini cara Tuhan buat bikin
lo ngelupain Adya, Ra.” Ucapan Nida diikuti oleh gerimis yang perlahan turun,
ini masih bulan Juni namun langit seolah setuju dengan kesedihan yang dirasakan
Kairra, lagu It Will Rain dari Bruno
Mars menjadi pelengkap sendu Kairra hari itu.
Senin, 24 Agustus 2020
Yuna.
”Dua belas tahun, Na… aku udah bareng-bareng sama kamu dua belas tahun, sekarang kamu mau pergi gitu aja ninggalin aku?” Arga menatap lirih mata Yuna yang tidak memancarkan rasa bersalah sedikitpun, lelaki itu kemudian meraih tangan kanan Yuna dan menggenggamnya erat.
“Pikirin lagi, ya?” Ucapnya pelan, Yuna
menggeleng.
“Nggak, Ga. Keputusanku udah bulat, aku mau
belajar.” Balas Yuna dengan yakin, ia menarik tangan yang sebelumnya digenggam
oleh mantan yang sampai lima menit lalu masih memegang status pacar selama dua
belas tahun itu.
“Tapi, kamu udah lulus S2…” Arga masih
berusaha menyanggah ucapan Yuna, kini Yuna menatap mata Arga dengan pandangan
tegas.
“Yang aku maksud disini bukan belajar itu,
Ga. Aku mau belajar hidup tanpa kamu, aku mau belajar hidup tanpa aturan kamu, aku
mau belajar hidup tanpa harus dihantui omelan kamu. Aku capek.” Arga speechless, ia benar-benar tidak
menyangka bahwa kalimat tersebut keluar dari mulut Yuna, padahal selama ini
Arga merasa semua perbuatan dan perlakuan dirinya terhadap Yuna itu benar.
“Kamu selalu ngelarang aku buat main sama temen-temenku, kamu selalu ngelarang aku buat pergi terlalu jauh, kamu selalu ngelarang aku buat ngelakuin hal yang aku suka. Entah kamu sadar atau nggak, selama bareng-bareng sama kamu, aku gak pernah ambil keputusan atas kemauanku sendiri, selalu kamu yang atur, aku selalu takut sama omelan kamu nantinya. Dan ini pertama kali sejak aku SMA, sejak aku memutuskan untuk pacaran sama kamu, ini kali pertama aku berani buat keputusan sendiri. Aku gak peduli dan aku gak akan nanya pendapat kamu setelah ini.” Lanjut Yuna dengan air yang menunggu jatuh di pelupuk matanya.
Ibarat jatuh kemudian tertimpa tangga, ucapan Yuna
benar-benar membuat Arga terdiam, laki-laki yang belasan kali menang lomba
debat itu tidak sanggup melawan kalimat panjang Yuna barusan. Dan untuk pertama
kalinya, Arga merasa kalah.
Yuna kemudian bangun dari duduknya dan
berjalan menjauh meninggalkan Arga yang masih termenung di kursinya. Ucapan Yuna
meninggalkan efek yang begitu besar, walau Arga yakin itu tidak sebesar efek
yang ia berikan kepada dua belas tahun kehidupan Yuna, tapi Arga masih
membutuhkan waktu untuk menafsirkan semua ucapan yang wanita itu lontarkan.
Apa yang Arga anggap benar selama ini hanya untuk memenuhi keegoisannya itu perlahan membuat Yuna yang dulunya berperangai keras menjadi lunak, namun kerasnya Yuna berpindah ke Arga, keotoriterannya, keinginan ia berkuasa benar-benar mengubah diri dan pikirannya. Arga terlalu keras terhadap Yuna, Arga memang tidak suka melihat Yuna bahagia jika tidak bersamanya. Dan kini, tinggal Arga seorang diri bersama penyesalan dan dua gelas kopi susu yang belum sempat mereka minum di atas meja.
Sabtu, 22 Agustus 2020
Anna.
Entah apa yang dikecewakan disini, Anna yang sudah lama menunggu atau kenyataan bahwa angan memiliki dirinya kembali memang benar hanyalah angan yang sampai kapanpun tidak akan pernah Anna gapai.
Bukan dengan mudah Anna membuat keputusan
untuk mencoba membuka hati, bukan dengan mudah pula Anna mengesampingkan segala
masalah yang dulu ia perbuat hanya untuk lelaki itu, dan entah berapa banyak
hal yang ia korbankan. Kini, ia harus mengorbankan kembali perasaannya.
Anna terlalu sedih serta frustasi, bahkan
menangis pun ia tak mampu dan dirasa tidak menolong. Dirinya ingin teriak dan
menyumpah lelaki itu dengan berbagai ucapan kotor, namun Anna juga terlalu
lelah untuk itu. Anna memilih diam.
Terlalu
cinta. Anna tau dirinya bodoh, ia bahkan tidak lagi
dapat membedakan antara cinta dan obsesi, sekali lagi, ia terlalu lelah untuk
berpikir. Menghilang diam-diam mungkin
adalah keputusan yang tepat.
Selasa, 18 Agustus 2020
Menyerah.
Aku tidak pernah tahu kalau mencintai bisa semenyakitkan
ini. Awalnya, kupikir menghubungimu kembali adalah keputusan yang tepat, sudah
tujuh tahun berlalu, mana mungkin aku masih menyukaimu? Namun keputusanku
salah, dan otakku tak sejalan dengan hati.
Aku masih menyukaimu.
Perasaan ini masih ada, bahkan jauh lebih
besar dari sebelumnya, aku merasa mempunyai kesempatan lebih besar disbanding tujuh
tahun lalu untuk mendapatkanmu.
Sekuat mungkin aku berusaha menyanggah,
perasaan Ini tidak mungkin sama dengan apa yang kurasakan tujuh tahun lalu,
namun aku salah. Aku masih seperti anak berumur lima belas tahun yang menunggu
pesan dan teleponmu.
Kadang aku berusaha merebut perhatianmu
dengan cerita yang kubagikan, namun apa yang kuharapkan? Jangankan membuatmu menoleh,
mendengar pun enggan.
Untuk orang yang mungkin membaca tulisan
ini, aku menyerah, aku menyerah sekali lagi. Mungkin usahaku memang tidak
pantas untuk ditanggapi olehmu.
Semoga hidupmu selalu bahagia.